Hendrik : “Setiap Ton Nikel Adalah Kekayaan Rakyat , Bukan Tiket Bebas Exploitasi”

Redaksi Beritando
16 Agu 2025 08:42
3 menit membaca
image_pdfimage_print

Konawe Utara, Beritando.com — Data resmi Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sulawesi Tenggara membeberkan, sebanyak 33 perusahaan tambang di Kabupaten Konawe Utara telah mengantongi persetujuan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) 2025 dari Kementerian ESDM. Dari jumlah tersebut, 28 perusahaan memiliki kuota produksi aktif, dengan total mencapai 39.635.860 metrik ton (MT), sedangkan lima perusahaan lain nihil kuota.

 

Kuota terbesar dipegang oleh PT Tiran Indonesia dengan 10 juta MT, disusul PT Makmur Lestari Primatama (2,9 juta MT), PT Tataran Media Sarana (2,64 juta MT), PT Adhi Kartiko Pratama (2,5 juta MT), dan PT Bumi Sentosa Jaya (2,11 juta MT). Angka ini mencerminkan potensi ekonomi bernilai triliunan rupiah dari sektor nikel di wilayah tersebut.

 

Hendrik, Aktivis sosial dan koordinator Koalisi Rakyat Konawe Utara menuturkan kepada awak media 16/08/2025 ,Untuk Keadilan Tambang, mengingatkan bahwa kuota produksi yang besar wajib diikuti dengan tanggung jawab sosial dan ekonomi terhadap masyarakat lokal.

 

“Setiap ton bijih nikel yang diangkut adalah kekayaan rakyat. Negara sudah memberikan izin dan kuota, tapi negara juga memerintahkan perusahaan untuk memberdayakan UMKM, kontraktor, dan tenaga kerja lokal. Kalau ini diabaikan, berarti mereka menampar harga diri rakyat,” tegas Hendrik.

 

Koalisi menyoroti landasan hukum yang jelas: Pasal 124 UU No. 3/2020 tentang Minerba, Pasal 151 UU No. 2/2025 yang mengatur sanksi administratif bagi perusahaan yang abai, serta Permen Investasi/BKPM No. 1/2022 tentang tata cara kemitraan usaha besar dengan UMKM di daerah. Menurut Hendrik, aturan ini bukan anjuran, melainkan perintah hukum yang mengikat.

 

Hingga pertengahan tahun ini, mayoritas perusahaan pemegang RKAB di Konawe Utara belum menandatangani komitmen dengan Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara. Hal ini dinilai Koalisi sebagai potensi besar terjadinya ketidakadilan ekonomi, di mana proyek jasa pertambangan dikuasai pihak luar, tenaga kerja lokal kalah bersaing, dan UMKM setempat tidak mendapatkan akses yang layak.

 

“Kuota besar harus berbanding lurus dengan manfaat besar. Minimal 30 persen nilai kontrak harus disalurkan ke pelaku usaha lokal. Ini bukan permintaan belas kasihan, ini amanat undang-undang,” ujar Hendrik.

 

Koalisi berencana mengirim surat resmi ke seluruh perusahaan pemegang RKAB di Konawe Utara untuk menuntut penandatanganan MoU Pemberdayaan Lokal. Selain itu, Koalisi akan mempublikasikan Skor Kepatuhan Perusahaan secara berkala untuk mengukur realisasi kemitraan lokal, rekrutmen tenaga kerja daerah, kontribusi CSR berbasis desa, serta progres reklamasi.

 

Koalisi juga mengingatkan pemerintah daerah dan pusat agar tidak ragu menindak perusahaan yang membangkang. Evaluasi kuota, pengurangan jatah produksi, hingga pencabutan RKAB disebut sebagai opsi yang harus siap dijalankan sesuai ketentuan hukum.

 

“Saya berkomitmen untuk terus memperjuangkan hak rakyat dengan cara-cara yang sah dan konstitusional. Perusahaan harus tahu, tanah ini milik rakyat, dan kami akan memastikan mereka mematuhi setiap aturan yang berlaku.” tutup Hendrik.

 

Dengan publikasi data dan desakan ini, Koalisi berharap perusahaan tambang di Konawe Utara memahami bahwa kuota produksi yang diberikan negara bukanlah tiket bebas untuk eksploitasi, tetapi mandat untuk menggerakkan ekonomi rakyat di wilayah tambang.

 

Laporan: Tim