DAPUR ALIT JOGJA: MENGHIDUPKAN KEMBALI BUDAYA JAWA KUNO LEWAT ETHNO-GASTRONOMY

Redaksi Beritando
15 Okt 2025 16:15
NASIONAL 0 7
3 menit membaca
image_pdfimage_print

Sejalan dengan program Kementerian Pariwisata Republik Indonesia “Wonderful Indonesia Gourmet”, yang bertujuan memperkenalkan kekayaan kuliner Nusantara berbasis budaya ke panggung global, Dapur Alit hadir sebagai destinasi Ethno-Gastronomy yang menghidupkan kembali nilai luhur Jawa Kuno melalui pengalaman bersantap yang sarat makna dan filosofi.

Berlokasi di Tuntungan Tahunan, Umbulharjo, Yogyakarta, Dapur Alit berawal dari halaman rumah sederhana dan kini menjadi ruang intimate dining yang menghadirkan kisah di balik setiap sajian. Di sini, makanan bukan sekadar hidangan — tetapi narasi budaya yang menghubungkan masa lalu, alam, dan manusia.

Terinspirasi dari perjalanan spiritual dan riset terhadap Lontar Dharma Caruban, Dapur Alit mengusung filosofi bahwa setiap bahan memiliki jiwa dan harus dihormati sebelum diolah. Pandangan ini menjadi inti pendekatan Ethno-Gastronomy Jawa Kuno, di mana seni memasak tidak hanya mencipta rasa, tetapi juga merawat keseimbangan alam dan jiwa.

Dari riset terhadap prasasti Jawa Kuno, seperti Prasasti Watukura (902 Masehi) dan Prasasti Jru-Jru (930 Masehi), lahirlah menu ikonik seperti: Nasi Watukura, yang merepresentasikan harmoni dan perayaan kerajaan Mataram Kuno; Nasi Paripurna, cerminan filosofi kelimpahan dan keseimbangan dalam kehidupan Jawa; dan Minuman seperti Jonggrang Signature Drink dan Arupadhatu Drink, yang memadukan rempah dan bunga dengan makna spiritual dari candi Jawa juga legenda Jawa Kuno. 

Setiap detail di Dapur Alit dirancang sebagai bagian dari pengalaman budaya. Gerabah yang digunakan berasal dari Dusun Klipoh, Borobudur, tempat para pengrajin mempertahankan tradisi leluhur berabad-abad lamanya. Tanah Borobudur diyakini mengandung energi spiritual dan sejarah yang memberi nilai tersendiri bagi setiap wadah yang digunakan untuk menyajikan makanan.

Yang membuatnya unik, beberapa piring gerabah diukir dengan relief Pancatantra — kisah fabel klasik yang juga diabadikan pada relief Candi Sojiwan dan Candi Jago. Cerita-cerita tersebut, seperti kisah persahabatan hewan dan kebijaksanaan alam, sarat dengan pesan moral dan filosofi hidup. Melalui interpretasi ulang relief Pancatantra ini, Dapur Alit menghadirkan pengalaman bersantap yang tidak hanya memanjakan indera, tetapi juga mengajak pengunjung merenungkan nilai-nilai etika dan kebijaksanaan yang diwariskan leluhur.

“Lebih dari tempat makan, Dapur Alit adalah ruang refleksi dan pelestarian budaya. Kami percaya bahwa pelestarian warisan budaya bisa dimulai dari dapur rumah kita sendiri, dan sejatinya kuliner bisa menjadi jembatan untuk mempelajari budaya nenek moyang kita (bahkan yang saat ini sudah hilang).” Tutur T. Cilik Pamungkas, pendiri Dapur Alit.

Pengalaman bersantap di Dapur Alit juga mendapat perhatian dari tamu mancanegara. Anna Kooi, peneliti makanan dan chef asal Amsterdam Belanda, menyampaikan, “Storytelling-nya luar biasa, rujukan pada mitologi kuno, hubungan dengan alam, serta fabel-fabelnya sangat menarik. Rasanya halus, seimbang, penyajiannya indah, dan makan di halaman rumah orang Indonesia menjadi lebih intim bagi kami para pelancong dari luar. Ini pengalaman gastronomi yang unik.”

Dengan visi “From Ancient Wisdom to Modern Taste”, Dapur Alit menjadi pionir Ethno-Gastronomy Jawa Kuno yang berkontribusi memperkuat identitas kuliner Indonesia selaras dengan semangat Wonderful Indonesia Gourmet dalam memperkenalkan kuliner sebagai ekspresi budaya, keberlanjutan, dan kearifan lokal.

Artikel ini juga tayang di VRITIMES