PERUMDA Konasara: Satu Pintu Sah Kemitraan Tambang dan Jalan Keadilan Ekonomi Konawe Utara

Konawe Utara,Beritando.com- Dikenal luas sebagai salah satu daerah dengan cadangan nikel terbesar di Indonesia. Namun ironisnya, sektor pertambangan yang seharusnya menjadi penyumbang utama APBD justru hanya menempati urutan ke-6. Fakta ini memperlihatkan ketimpangan serius: sektor yang paling dominan dalam penguasaan ruang ekonomi justru belum memberikan kontribusi fiskal terbesar bagi daerah.
Dalam konteks tata kelola daerah, hadirnya Perusahaan Umum Daerah (PERUMDA) Konasara menjadi momentum strategis. Payung hukum utama lembaga ini adalah Perda Konawe Utara Nomor 6 Tahun 2021 tentang Perusahaan Umum Daerah yang kemudian diubah dengan Perda Nomor 1 Tahun 2022. Regulasi tersebut diperkuat secara politik dan administratif melalui Keputusan Bupati Konawe Utara Nomor 413 tentang struktur dan operasional PERUMDA.
Dengan fondasi itu, PERUMDA Konasara berdiri di atas tiga legitimasi: hukum melalui perda dan keputusan bupati; politik melalui mandat pemerintah daerah; serta sosial melalui dukungan Koalisi Rakyat Konawe Utara untuk Keadilan Tambang bersama masyarakat akar rumput.
Hadirnya PERUMDA sekaligus menjawab kebingungan lama soal wadah resmi pengusaha lokal, kontraktor, dan UMKM. Kini, hanya ada satu pintu sah yang merepresentasikan kepentingan lokal untuk bermitra secara transparan dan akuntabel dengan perusahaan tambang.
Legitimasi ini juga ditegaskan dalam regulasi nasional. Pasal 124 UU Minerba (UU No. 3/2020) mewajibkan penggunaan tenaga kerja dan jasa lokal. Pasal 151 UU No. 25/2025 memberi sanksi bagi perusahaan yang melanggar kewajiban pemberdayaan. PP No. 25/2024 mewajibkan aspek pemberdayaan masuk dalam RKAB, sementara Permen BKPM No. 1/2022 memastikan kemitraan daerah wajib ada sejak awal investasi.
Di tingkat lokal, Perda PDRD No. 1 Tahun 2024 memperkuat dasar Pemda untuk memaksimalkan pajak sektor pertambangan—mulai dari pajak air tanah, listrik industri, hingga mineral non-logam. Semua potensi PAD ini akan lebih efektif terserap jika dikelola melalui kemitraan resmi dengan PERUMDA Konasara.
Tidak hanya sebagai instrumen bisnis daerah, PERUMDA juga kontributor nyata PAD. Keuntungan yang diperoleh otomatis kembali ke kas daerah untuk dikelola demi pembiayaan pembangunan, pendidikan, kesehatan, serta pelayanan publik. Hal inilah yang membedakan PERUMDA dengan entitas swasta: laba yang dihasilkan tidak berhenti di segelintir orang, tetapi kembali ke masyarakat.
Ketua koalisi , Hendrik, menegaskan: “PERUMDA Konasara bukan pesaing perusahaan, melainkan mitra resmi yang sah. Menolak PERUMDA sama saja menolak pemerintah daerah dan amanat undang-undang. Sebaliknya, bermitra dengan PERUMDA berarti memastikan kegiatan pertambangan berjalan sesuai hukum sekaligus membawa manfaat nyata bagi masyarakat Konawe Utara.”
Dukungan pun datang dari Koalisi Rakyat Konawe Utara untuk Keadilan Tambang. Mereka menyerukan agar setiap pemegang IUP/IUPK di Konawe Utara segera memberikan ruang kemitraan kepada PERUMDA, baik berupa kuota penambangan, kontrak jasa, maupun skema joint operation.
Koalisi juga memberi peringatan tegas: jika perusahaan tidak mengindahkan kewajiban kemitraan, gejolak sosial sulit dihindari. Sebab, PERUMDA didukung penuh oleh masyarakat, tokoh adat, pemuda, mahasiswa, kontraktor lokal, UMKM, aktivis, LSM, hingga media. Gelombang besar dukungan rakyat akan berdiri di belakang PERUMDA untuk memastikan perusahaan tidak lagi bisa mengabaikan kepentingan daerah.
Sutarno