Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia bukan hanya menjadi tujuan kerja dan investasi bagi warga asing, tetapi juga tempat menetap bagi keluarga ekspatriat. Lonjakan jumlah Investor KITAS, pekerja asing berkeahlian khusus, serta meningkatnya perkawinan campuran secara langsung mendorong satu isu yang semakin menonjol dalam kebijakan keimigrasian: bagaimana negara mengatur keberadaan keluarga orang asing secara legal, tertib, dan berkelanjutan. Di sinilah Family (Dependent) KITAS memainkan peran strategis, bukan sekadar sebagai izin tinggal, tetapi sebagai instrumen kebijakan keluarga lintas negara.
Family KITAS secara formal dirancang sebagai mekanisme family unification, memungkinkan pasangan dan anak dari pemegang izin tinggal utama untuk menetap di Indonesia tanpa harus masuk kategori pekerja atau investor. Namun dalam praktiknya, izin ini mencerminkan perubahan pendekatan pemerintah terhadap migrasi jangka panjang. Indonesia tidak lagi memandang orang asing semata sebagai tenaga kerja sementara, melainkan sebagai individu yang membawa unit keluarga, kebutuhan sosial, dan dampak ekonomi yang lebih luas.
Perubahan ini semakin terlihat sejak reformasi regulasi keimigrasian pasca-Omnibus Law. Investor KITAS dengan masa berlaku hingga dua tahun, misalnya, mendorong stabilitas tinggal yang lebih panjang. Konsekuensinya, permohonan Family KITAS ikut meningkat, terutama di kota-kota dengan konsentrasi PMA tinggi seperti Jakarta, Bali, dan Batam. Imigrasi merespons dengan digitalisasi proses—e-Visa, M-Paspor, dan KITAS elektronik—yang bertujuan mempercepat layanan sekaligus meningkatkan pengawasan.
Namun, modernisasi sistem ini juga memunculkan tantangan baru. Banyak keluarga asing mendapati bahwa proses Family KITAS bukan sekadar administratif, tetapi sangat bergantung pada validitas relasi hukum keluarga. Legalisasi akta nikah dan akta kelahiran dari luar negeri menjadi titik krusial, dan kegagalan memenuhi standar formal sering kali berujung pada penundaan atau penolakan. Dari sudut pandang kebijakan, ini mencerminkan kehati-hatian negara dalam mencegah penyalahgunaan izin tinggal berbasis keluarga.
Isu lain yang semakin sering muncul adalah batasan hak bagi pemegang Family KITAS. Larangan bekerja bagi pasangan atau anak dewasa bukanlah detail kecil, melainkan pilihan kebijakan yang disengaja. Negara secara tegas memisahkan izin tinggal keluarga dari izin kerja, dengan tujuan menjaga ketertiban pasar tenaga kerja domestik. Namun, dalam konteks globalisasi dan kerja jarak jauh, pembatasan ini sering memunculkan dilema praktis bagi keluarga ekspatriat, terutama pasangan yang sebelumnya aktif secara profesional.
Dari perspektif sosial-ekonomi, Family KITAS juga menempatkan keluarga asing dalam posisi unik. Di satu sisi, mereka berkontribusi terhadap konsumsi lokal—pendidikan internasional, perumahan, layanan kesehatan, dan gaya hidup. Di sisi lain, status non-kerja mereka menegaskan bahwa keberadaan ini bersifat pendamping, bukan partisipatif dalam pasar kerja. Keseimbangan inilah yang tampaknya ingin dijaga oleh pemerintah Indonesia.
Kebijakan ini menjadi semakin relevan dalam konteks perkawinan campuran. KITAS pasangan WNI kini dipandang sebagai jalur integrasi jangka panjang, bahkan dapat mengarah ke KITAP. Ini menunjukkan pergeseran paradigma: keluarga campuran tidak lagi diposisikan sebagai kasus khusus, tetapi sebagai bagian dari realitas demografis modern Indonesia. Meski demikian, prosesnya tetap menuntut kepatuhan administratif yang tinggi, mulai dari pencatatan perkawinan hingga sinkronisasi data kependudukan dan imigrasi.
Bagi pelaku bisnis dan profesional asing, dinamika ini memiliki implikasi strategis. Perencanaan penugasan jangka panjang kini tidak bisa dilepaskan dari isu keluarga. Keputusan menerima posisi di Indonesia, mendirikan PMA, atau berinvestasi sering kali bergantung pada seberapa mudah pasangan dan anak dapat tinggal secara legal. Tidak mengherankan jika banyak perusahaan mulai memperhitungkan aspek Family KITAS sebagai bagian dari talent mobility planning.
Dalam praktiknya, kompleksitas regulasi dan perubahan kebijakan yang cepat membuat banyak keluarga dan perusahaan memilih untuk berkonsultasi dengan pihak berpengalaman. Konsultan imigrasi berperan bukan hanya sebagai pengurus dokumen, tetapi sebagai penerjemah kebijakan. Di Indonesia, firma seperti CPT Corporate kerap menjadi rujukan ketika keluarga ekspatriat perlu memahami implikasi hukum dari izin tinggal, termasuk keterkaitannya dengan layanan visa dan imigrasi serta struktur izin tinggal jangka panjang.
Ke depan, Family KITAS kemungkinan akan semakin mendapat sorotan seiring meningkatnya mobilitas global dan kompetisi regional dalam menarik investasi asing. Negara-negara di Asia Tenggara berlomba menawarkan ekosistem ramah ekspatriat, dan pengaturan keluarga menjadi salah satu indikator penting. Indonesia, melalui kerangka Family KITAS yang semakin terstandarisasi, tampaknya berusaha menyeimbangkan keterbukaan dengan kontrol.
Pada akhirnya, Family KITAS bukan hanya soal membawa pasangan dan anak ke Indonesia. Ia mencerminkan bagaimana negara memposisikan keluarga asing dalam sistem hukum nasional, bagaimana kebijakan migrasi beradaptasi dengan realitas global, dan bagaimana stabilitas keluarga menjadi bagian dari strategi ekonomi yang lebih luas. Bagi para ekspatriat, memahami izin ini berarti memahami arah kebijakan Indonesia itu sendiri.
Artikel ini juga tayang di VRITIMES