Konawe Utara. Beritando.com – Koalisi Rakyat Konawe Utara Untuk Keadilan Tambang menegaskan bahwa pengakuan tanah adat, hutan adat, maupun wilayah adat di Indonesia tidak bisa dilakukan secara sepihak atau hanya berdasarkan klaim simbolik. Semua harus mengikuti mekanisme hukum yang jelas sebagaimana diatur dalam UUD 1945, undang-undang, dan peraturan pelaksana. Tanpa mekanisme ini, klaim adat hanya bersifat moral, tidak memiliki kekuatan hukum yang dapat di eksekusi.
Ketua Koalisi Rakyat Konut, Hendrik, menjelaskan bahwa Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 memang mengakui eksistensi masyarakat hukum adat, namun dengan syarat masih hidup, sesuai perkembangan masyarakat, serta dalam bingkai NKRI. “Artinya, pengakuan adat tidak otomatis berlaku. Harus ada proses verifikasi, validasi, dan penetapan resmi melalui SK Bupati atau Peraturan Daerah agar klaim adat sah secara hukum,” tegas Hendrik.
Secara teknis, pengakuan tanah adat diatur melalui Permen ATR/BPN No. 10 Tahun 2016 tentang Hak Komunal Atas Tanah, sedangkan hutan adat diakui berdasarkan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang dipertegas oleh Putusan MK No. 35/2012. Kedua mekanisme ini menunjukkan bahwa klaim adat harus melalui proses formal negara, bukan sekadar pengakuan sepihak. Tanpa pengakuan formal, klaim adat tidak memiliki legitimasi yuridis.
Dalam konteks masyarakat hukum adat, proses pengakuan juga harus melewati tahapan identifikasi, verifikasi, dan validasi sebagaimana diatur dalam Permendagri No. 52 Tahun 2014. Pemerintah daerah memiliki kewajiban membentuk tim ahli yang terdiri dari akademisi, tokoh adat, dan unsur masyarakat untuk memastikan eksistensi adat benar-benar masih hidup. Dengan demikian, klaim adat yang sah adalah klaim yang telah melalui prosedur akademik dan administratif, bukan klaim politik sesaat.
Hendrik menekankan, pengakuan formal penting bukan hanya untuk kepastian hukum, tetapi juga untuk melindungi adat itu sendiri. “Kalau adat tidak ditempatkan dalam kerangka hukum, maka ia mudah dipelintir, bahkan bisa dijadikan komoditas politik oleh segelintir elite. Justru dengan prosedur resmi, adat akan lebih dihormati dan terlindungi,” jelasnya.
Dalam pandangan Koalisi, salah satu falsafah luhur Suku Tolaki sangat relevan untuk mengingatkan semua pihak: “INAE KONASARA – IYEE PINESARA, INAE LIA SARA – IYEE PINEKASARA”. Artinya, “Siapa yang menghargai-menghormati adat, dia akan dihargai. Siapa yang tidak menghargai-menghormati adat, dia akan dikenakan sanksi dan dikucilkan dari masyarakat adat.” Falsafah ini adalah pilar moralitas adat Tolaki yang diwariskan untuk menjaga kehormatan bersama.
Namun, Hendrik menegaskan falsafah tersebut tidak boleh disalahgunakan untuk memaksakan kepentingan sempit. “Menghormati adat artinya menjaga marwah adat, bukan menggunakannya sebagai senjata untuk menekan perusahaan atau pemerintah demi kepentingan pribadi. Ketika adat dijadikan alat tawar-menawar, maka yang rusak bukan hanya keadilan, tetapi juga kehormatan tradisi itu sendiri,” tegasnya.
Koalisi melihat fenomena di lapangan, sering kali isu adat dipakai oleh segelintir kelompok sebagai alat politik untuk menolak tambang atau memaksakan posisi dalam negosiasi ekonomi. Praktik ini sangat berbahaya karena mencederai nilai-nilai luhur adat, memecah belah masyarakat, dan mereduksi adat menjadi sekadar alat pragmatis. “Ini jelas bertentangan dengan falsafah Tolaki yang mengajarkan penghormatan, bukan manipulasi,” tambah Hendrik.
Dari perspektif akademik, prosedur berlapis dalam pengakuan adat mencerminkan konsep legal pluralisme—keberadaan hukum adat berdampingan dengan hukum negara. Namun Indonesia menganut pendekatan state law centrism, di mana hukum negara tetap menjadi filter terakhir. Hal ini penting untuk mencegah tumpang tindih klaim, konflik horizontal, maupun penyalahgunaan isu adat oleh pihak-pihak tertentu.
Tanpa prosedur resmi, klaim adat tidak bisa dijadikan dasar hukum untuk melarang investasi atau kegiatan pertambangan. Hendrik menegaskan, “Kalau masyarakat adat ingin kuat, maka harus diakui melalui SK atau Perda. Dengan begitu, mereka punya posisi sah dan legal di mata hukum, dan bisa menuntut haknya tanpa takut diremehkan atau diabaikan.”
Koalisi Rakyat Konawe Utara Untuk Keadilan Tambang menegaskan komitmennya untuk mendukung masyarakat adat yang sah secara hukum. Namun Koalisi juga tegas menolak segala bentuk manipulasi adat yang hanya dijadikan tameng untuk kepentingan sempit. “Kami tidak akan tinggal diam melihat adat dijadikan alat permainan politik. Kami hadir untuk menjaga keseimbangan: menghormati adat yang murni, sekaligus melawan penyalahgunaan adat,” ujar Hendrik.
Lebih jauh, Koalisi menegaskan bahwa perjuangan adat yang sejati adalah perjuangan untuk keadilan kolektif, bukan keuntungan individual. Adat sejati melindungi tanah, laut, dan generasi, bukan menjadi jalan pintas untuk kepentingan segelintir orang. Karena itu, Koalisi menyerukan agar seluruh elemen masyarakat kembali pada prinsip-prinsip hukum, konstitusi, dan falsafah adat yang murni.
Dengan sikap ini, Koalisi berharap pemerintah, perusahaan, dan publik luas dapat lebih kritis dalam menyikapi isu adat. Prosedur hukum harus dihormati agar tidak terjadi konflik berkepanjangan. “Keadilan tambang tidak boleh menyingkirkan masyarakat adat yang sah, tetapi juga tidak boleh membiarkan manipulasi adat menghancurkan tatanan hukum. Kami akan terus berdiri di garis depan, meski risiko kriminalisasi selalu mengintai, demi memastikan suara rakyat dan adat yang murni tetap hidup,” tutup Hendrik
Laporan Tim