Tantangan Modernisasi Pertanian Era 4.0

Redaksi Beritando
7 Jul 2024 17:25
OPINI 0 232
5 menit membaca
image_pdfimage_print

Oleh : Dr. Sitti Rosmalah, S.P., M.P 

Ketua Program Studi Magister Agribisnis Universitas Muhammadiyah Kendari 

BERITANDO.COM – Awal abad ke-21, adalah era masyarakat 5.0 yang ditandai oleh kehidupan masyarakat dalam konsep kearifan yang berpusat pada manusia (human centered). Pada masa ini, penguasaan teknologi bukanlah hal yang sulit. Pengarusutamaan dan Akses informasi di berbagai sektor membuat manusia cepat dan mudah menguasai teknologi.

Sektor pertanian sendiri belum dapat mencapai era 5.0 ini dan terindikasi masih dalam proses transformasi 4.0. Eksistensi pertanian menjadi hal yang urgen untuk senantiasa mendapatkan perhatian dalam upaya pengembangan dan kemajuan serta keberlanjutannya. Sektor pertanian yang pada masa orde lama tetap menjadi sektor prioritas yang menjadi bagian terpenting dalam menentukan arah kebijakan global mengalami reposisi atau pergeseran sejak memasuki masa orde baru sejak tahun 1970.

Pertanian yang menjadi sektor basis dan prioritas pada masa orde lama telah digantikan oleh sektor industri yang mendukung perekonomian bangsa ini. Dalam kerangka pembangunan ekonomi saat ini, sektor pertanian tidak lagi ditempatkan sebagai pondasi ekonomi nasional, tetapi hanya dijadikan buffer atau penyangga guna menyukseskan industrialisasi yang dijadikan lokomotif pertumbuhan ekonomi.

Sebagai penyangga, yang terpenting bagi pemerintahan Orde Baru adalah bagaimana mendongkrak produksi pangan dalam negeri tanpa harus berbelit-belit, cepat, dan tidak berisiko secara politik. Pilihan ini sebagai antitesis program land reform di masa Orde Lama yang dijadikan landasan utama dalam program Pembangunan Pertanian.

Orde Baru yang eksistensinya berporos pada sistem ekonomi kapitalistik cenderung meletakkan setiap kebijakan dan program pembangunan pertanian dengan metode jalan pintas (by-pass approach sehingga berdampak terhadap sustainability sektor pertanian.

Hal ini kemudian menjadi antitesis kebijakan yang dikeluarkan pada masa orde reformasi saat ini. Kebijakan green revolution (revolusi hijau) misalnya, telah berhasil membawa bangsa ini pada swasembada pangan tahun 1984 namun permasalahan ekologi yang dihasilkan sebagai dampak dari program tersebut saat ini menjadi fokus solusi yang terus di prioritaskan dalam setiap program dan kebijakan pada sektor pertanian.

Sustainable farming, go green, green economi, go organic merupakan contoh kecil arah kebijakan yang menjadi prioritas pembangunan pertanian sampai saat ini.

Saat ini masa depan sektor pertanian diarahkan pada pemanfaatan teknologi modern dan inovasi berbasis digital.

Pertanian 4.0 mewakili revolusi pertanian keempat yang menggunakan teknologi digital dan bergerak menuju sektor pertanian yang lebih cerdas, efisien, dan bertanggung jawab terhadap lingkungan. Teknologi pertanian telah muncul untuk meningkatkan keberlanjutan dan menemukan metode pertanian yang lebih efektif.

Hal ini mencakup seluruh proses digitalisasi dan otomasi dalam bisnis dan kehidupan kita sehari-hari, termasuk Big Data, Artificial Intelligence (AI), robot, Internet of Things (IoT), serta virtual dan augmented reality.

Pembangunan pertanian ke depan akan semakin mengandalkan para petani muda dengan teknologi digital, terutama sebagai strategi untuk memperkuat produksi dan distribusi.

Agripreneur muda yang melek teknologi adalah potensi dan mitra strategis memecahkan kendala distribusi serta lemahnya akses pasar petani selama ini. Upaya peningkatan dan pengembangan sektor pertanian pun dihadapkan pada proses adaptasi yang tidak mudah terutama bagi petani sebagai pelaku dalam proses produksi pertanian.

Komponen pendukung dalam mewujudkan transformasi sektor pertanian antara lain keberadaan inovasi digital, sumber daya manusia dan dukungan kebijakan.

Merumuskan kebijakan pertanian memang tidak mudah. Posisi di persimpangan banyak kepentingan, baik ekonomi maupun politik, membuat kebijakan pertanian kerap kali sulit melepaskan diri dari berbagai kontroversi. Kentalnya warna politik dalam berbagai kebijakan tampaknya menyulitkan perbaikan sektor potensial perekonomian Indonesia ini.

Kebijakan nasional pembangunan pertanian di suatu negara juga tentunya tidak lepas dari pengaruh faktor eksternal, apalagi dalam era globalisasi yang dicirikan adanya keterbukaan ekonomi dan perdagangan yang lebih bebas, akan sulit ditemukan adanya kebijakan nasional pembangunan pertanian yang steril dari pengaruh-pengaruh faktor eksternal.

Faktor eksternal yang mempengaruhi kebijakan nasional pembangunan pertanian di Indonesia antara lain; (i) kesepakatan-kesepakatan internasional, seperti WTO, APEC dan AFTA; (ii) kebijaksanaan perdagangan komoditas pertanian di negara-negara mitra perdagangan indonesia; (iii) lembaga-lembaga internasional yang memberikan bantuan kepada Indonesia terutama dalam masa krisis.

Dalam situasi normal dimana tidak terjadi krisis, maka 2 (dua) faktor pertama itulah yang lebih banyak mempengaruhi kebijakan pembangunan pertanian, namun dalam situasi krisis seperti pada saat ini pengaruh eksternal dari lembaga-lembaga internasional seperti IMF dan Bank Dunia akan lebih besar dari pada kesepakatan internasional seperti WTO, APEC dan AFTA, dalam mewarnai kebijakan pangan nasional.

Sejak Indonesia menganut perdagangan bebas yang ditandai dengan masuknya menjadi anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) tahun 1995, masalah pertanian menjadi semakin kompleks sebagai konsekuensi dari hasil kesepakatan terhadap pasal-pasal AoA (Agreement on Agriculture).

Persoalan yang ada bukan lagi hanya di sawah, kebun, dan ladang saja, tetapi juga terkait dengan sektor lain, seperti perdagangan dan fiskal. Masalah yang muncul bukan lagi hanya soal hama penyakit, pupuk, dan iklim, tetapi juga masalah efisiensi, serangan produk impor, surplus produksi, penyelundupan, dan lain-lain.

Bustanul Arifin pada harian Kompas 2004 menyatakan bahwa mandeknya sektor pertanian berakar pada terlalu berpihaknya pemerintah pada sektor industri sejak pertengahan 1980-an yang tidak terlepas dari pengaruh paradigma pembangunan saat itu yang menekankan sistem ekonomi kapitalis berbasis industrialisasi.

Oleh karena itu, untuk dapat menciptakan stabilisasi sektor pertanian serta menyambut transformasi pertanian 4.0, maka kebijakan yang dikeluarkan hendaknya steril dari paradigma ekonomi kapitalis yang disinyalir hanya menciptakan laba bagi para penguasa industrialisasi dan pemegang modal besar, namun menjadi petaka bagi masa depan sektor pertanian. Selain itu melepaskan diri dari pengaruh dan hegemoni lembaga-lembaga eksternal yang sangat merugikan negara dan sektor basis ini.

Menciptakan kebijakan yang pro kepada petani dan masyarakat secara umum hanya dapat terjadi jika pemegang kebijakan keluar dari paradigma berpikir ekonomi kapitalis tersebut. Selain itu, kesiapan infrastruktur serta sumberdaya manusia juga menjadi hal yang sangat penting untuk dapat menyambut transformasi pertanian menuju ke arah yang lebih baik, modern dan bermartabat.

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *